Rabu, 18 Agustus 2010

Dari Mana Penduduk Asli Sumbawa Berasal?


Dalam bukunya yang berjudul “Sumbawa Pada Masa Lalu”( L.A Manca), dijelaskan bahwa Van der Wolk seorang berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan (Gezaghebber) di Sumbawa pernah menulis sebuah buku “Memorie van Overgave”(Kenang-Kenangan selama Memerintah).
Dalam buku tesebut dijelaskan bahwa Penduduk asli Sumbawa (tau Samawa) awalnya berasal dan bermukim di Semenanjung Sanggar di lereng Gunung Tambora pada ketinggian kurang lebih 2.850 mdpl. Mereka berpindah ketempat pemukiman baru di Sumbawa dengan menyusuri dataran rendah yang saat itu belum digenangi air lautan akibat mencairnya es Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Sebelumnya terjadinya fenomena alam mencairnya es dari kedua Kutub tersebut, diantara Sumbawa dengan Sanggar terhampar dataran luas. Akibat dari mencairnya es kedua Kutub tersebut dalam jumlah sangat besar, mengakibatkan tergenangnya sebagian dataran dan menimbulkan Plat (dangkalan). Hal ini dapat dilihat dengan timbulnya Sunda Plat (dangkalan sunda yang terbentang antara Sumatera, Kalimantan dan Jawa) dan Sahul Plat (antara Papua dan Australia bagian Utara) serta adanya kesamaan jenis flora dan fauna.

Penduduk Sumbawa yang bermukim lebih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli kemudian berpindah ke wilayah pedalaman pegunungan-pegunungan tinggi (Pegunungan Ropang, Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh) untuk mencari hunian baru. Mereka yang menganut aliran animisme ini, beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka. Kemudian kelompok penduduk yang merupakan kategori pendatang baru,yang berasal dari Bugis-Makasar, Banjar dan Jawa masuk ke Sumbawa dan mendiami wilayah dataran dekat pantai.

Kelompok-kelompok penduduk ini selanjutnya menetap untuk seterusnya dan memiliki hak atas tanah yang telah ditempati sejak lama untuk dimanfaatkan. Bagian tanah ini dalam istilah adat sumbawa dikenal dengan sebutan “Lar Lamat”. “Lar Lamat” ini termasuk tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai atau danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia. Selanjutnya untuk mengawasi dan sekaligus menguasai “Lar Lamat” ini, dijabat oleh seorang kepala penguasa yang disebut “Nyaka”. Jika ada penduduk berikutnya yang datang dan ingin bermukim dan mencari nafkah dengan membuka tanah baru disitu, tanah itu yang disebut “Tana Penyaka”, mereka akan diterima dan mendapat hak serta kedudukan yang sama dengan syarat mereka harus patuh kepada ketentuan yang berlaku bagi tiap-tiap anggota masyarakat tana penyaka.

Kelompok-kelompok penduduk ini yang kemudian berkembangbiak dan memiliki wilayah sendiri, membentuk hukum sendiri dan sistem pemerintahan sendiri.